Di awal tulisan ini, kiranya secara etis penulis harus menempatkan posisi dalam pro dan kontra yang terjadi di masyarakat, terkait dengan pencapresan Jokowi yang secara formal telah dilakukan oleh DPP-PDI-P pada Kamis, 13 Maret 2014. Penempatan posisi ini menjadi “penting” sebab artikel ini lebih diarahkan pada kondisi dilematis model kerasionalan dari para pemilih, menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di tahun ini. Posisi pertama, tulisan ini tidak untuk menjebak ataupun terjebak pada opini yang terlanjur berkembang di masyarakat. Posisi kedua, tulisan ini hanya mengingatkan tentang dilematisnya persoalan rasionalitas dalam memilih (rational choices) dengan kultur masyarakat yang ada.
Pada posisi pertama, di alam kebebasan dan demokrasi, pro dan kontra yang terjadi di masyarakat tentang apapun sudah dianggap hal yang lumrah dan wajar. Mulai dari era pemikiran Alexis de Tocqueville hingga Robert Dahl, sejatinya demokrasi menjadi ruang bagi kebebasan untuk menyatakan perbedaan. Indikatornya menjadi jelas, jika ada ketakutan dalam mengemukakan perbedaan, maka sejatinya demokrasi telah punah hancur berkeping sebab elemen dasarnya telah sirna (Dahl, 1999). Jadi, manakala Jokowi dengan “gagah berani” mendeklarasikan pencapresannya di “Rumah Si Pitung” di Kawasan Marunda Jakarta Utara, sehari setelah DPP PDI-P mengamanahkannya, secara formal sejatinya pro dan kontra itu mulai hidup. Meskipun banyak kalangan yang sesungguhnya sudah memahami apabila pencapresan Jokowi sebetulnya tinggal menunggu momennya saja, meskipun tidak bisa segera dikemukakan dengan berbagai alasan.
Pihak yang pro menyatakan apabila pencapresan Jokowi sudah sangat tepat. Alasannya sederhana, negeri ini memang layak dipimpin oleh orang dengan karakter seperti Jokowi. Jujur, spontan, tanpa basa-basi, “pelit” komentar (diam tapi banyak kerja), jagonya blusukan dan lain-lain yang semuanya ini terbantukan karena peran media yang begitu besar mencitrakan hal baik bagi sosok Jokowi. Bagi yang kontra, fenomena pencapresan Jokowi dianggap sebagai bagian dari pencitraan semata, meragukan kapasitas dan kapabilitasnya serta mudah berjanji tanpa realisasi. Sebagian kalangan yang kontra terhadap Jokowi selalu saja mengingatkan periode kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang seharusnya diselesaikan hingga tahun 2017 yang akan datang. Apalagi selama masa awal kepemimpinannya, publik yang kontra menilai jika kinerja Jokowi dalam memimpin DKI Jakarta belum maksimal. Argumentasi pertanyaannya adalah bagaimana mungkin Jokowi dapat memimpin Indonesia, jika memimpin DKI Jakarta saja, ia tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah kota dengan baik.
Rasionalitas Pemilih dan Fenomena Politik Blusukan
Dalam konteks rasional, sesungguhnya pemilih dapat dihadapkan dengan berbagai alternatif. Artinya, orientasi ataupun prilaku politik seseorang amat ditentukan dengan pilihan-pilihan rasional yang didasarkan pada kepentingannya yang beragam. Karena itulah dalam kajian yang dilakukan Steven L. Green menunjukkan apabila pilihan-pilihan rasional berdampingan dengan kepentingan ekonomi, kepentingan sosial dan kepentingan kelayakan hidup seseorang ataupun sekelompok orang (Green, 2002). Seseorang memilih dalam ajang partisipasi, akan selalu didasarkan pada pertimbangan rasional seperti itu. Jadi teramat wajar jika Green menegaskan sikap rasional dalam memilih harus didasarkan pada pertimbangan yang logis dan masuk akal. Senada dengan apa yang diungkap oleh Green, studi yang dilakukan oleh Alan D. Taylor dan Allison M. Pacelli tentang Mathematics and Politics : Strategy, Voting, Power and Proof seolah menekankah hal rasional seseorang dalam bersikap politik. Taylor dan Pacelli bahkan membuat rumusan matematis jika pilihan politik seseorang sejatinya dapat diangkakan, sehingga prilakunya dapat ditebak dengan rumusan yang pasti (Taylor and Pacelli, 2010). Pernyataan ini jelas mendukung kenyataan dalam perkembangan ilmu politik kontemporer, partisipasi seseorang sudah dapat diprediksi berdasarkan rumusan yang pasti. Lalu bagaimana kenyataan teoritis ini dapat menjelaskan fenomena pencapresan Jokowi?
Jika kita mau berekspreimen sederhana saja, buatlah satu pertanyaan dengan jawaban terbuka, apa yang diingat masyarakat akan Jokowi. Jawabannya mudah ditebak, paling tidak salah satu jawaban akan mengarah pada kebiasaannya melakukan blusukan. Dalam bahasa Jawa, blusukan itu berasal dari kata dasar “blusuk” yang artinya masuk. Secara harfiah blusukan itu dapat diartikan sebagai cara seseorang untuk masuk kedalam persoalan nyata yang dihadapi masyarakat dengan cara masuk ke dalam masyarakat itu sendiri. Bentuk blusukan itu bisa macam-macam, adakalanya seseorang datang ke pasar secara langsung, ke rumah sakit untuk melihat pelayanan rumah sakit, ke pinggir jalan, stadion sepakbola saat ada pertandingan dan lain-lainya. Namun yang perlu digarisbawahi, istilah blusukan ini lebih tepat dicantelkan pada seorang pejabat dan pengambil keputusan. Sebab jika “orang biasa saja” yang datang ke pasar dan tempat lainnya bukanlah blusukan karena tidak akan ada pengaruhnya dengan kebijakan publik yang akan diterapkan.
Fenomena blusukan ini makin menjadi ketika Jokowi dinobatkan sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2012-2017. Ia langsung pasang aksi untuk blusukan ke mana-mana. Tanpa ada kesan formal, sang gubernur asyik keluar masuk pasar, kampung, dan bercengkerama langsung dengan rakyat Jakarta. Pada awalnya, banyak orang yang kaget dan senang dengan model kerja dari gubernur DKI Jakarta baru ini. Sebab, ini gaya baru, yang belum pernah ditampilkan secara massif oleh pejabat gubernur sebelumnya. Tak ayal sikap dan aksi Jokowi ini mendapatkan pujian dan harapan besar untuk menjadikan Jakarta baru. Tambahan lagi, kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya seolah sangat berdekatan dengan fenomena blusukan yang pro-rakyat. Mulai diluncurkan Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar dan lain-lain yang menunjukkan keseriusan Jokowi dalam menata kesejahteraan masyarakat Jakarta. Dalam pandangan berbagai kalangan, blusukan yang dilakukan Jokowi tidak hanya sekadar kunjungan dan inspeksi mendadak serta kunjungan yang tak direncanakan. Selama ini istilah blusukan tidak dikenal dalam khasanah birokrasi modern sebagai salah satu model dalam menata dan mengelola pemerintahan. Blusukan khas Jokowi adalah kunjungan yang tidak ada unsur rekayasa dan bersifat dadakan. Jokowi berupaya menempatkan blusukan sebagai bagian dari gaya dirinya untuk menyerap dan mengerti aspirasi rakyat secara langsung, baik segi teknis, maupun non teknis, termasuk suasana batin yang berkembang di dalam masyarakat.
Sayangnya, kerasionalitasan masyarakat Jakarta saat memilih Jokowi, dengan harapan kepentingan dasarnya terpenuhi, mulai mendapatkan gamabaran yang sesungguhnya. Publik Jakarta mulai bertanya tentang efektifitas kebijakan Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Jakarta. Istilahnya, yang satu masalah saja belum selesai, sudah diajukan masalah lain. Memang bagus kemasan dari berbagai kebijakan tersebut, namun sayangnya hanya karena untuk mengejar target pencitraan, kebijakan itu menjadi lapisan luar saja, tidak menyentuh esensi kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. Masalah dasar masyarakat Jakarta belum terselesaikan, meskipun harus diakui untuk menyelesaikan masalah di Jakarta tidak bisa dibatasi dengan timeline, meski sesungguhnya penerapan batas waktu itu pada hakekatnya adalah hal yang rasional.
Secara rasional jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 dengan harapan ia mampu melakukan perubahan dalam proses peningkatan kesejahteraan masayarakat Jakarta. Namun hal ini belum sepenuhnya berhasil, karena kebijakan ini hanya dirasakan pada level kulit luarnya saja. Kedua, wacana perpolitikan kita di-insert dengan fenomena baru, yaitu politik blusukan yaitu kebijakan yang dibangun seolah pro-rakyat dan ditambah dengan aksi dan gaya kepemimpinan blusukan yang tiba-tiba banyak kalangan berupaya mengikutinya. Harus diingat sejatinya Jokowi identik dengan blusukan, tetapi itu tidak bisa di-copy paste oleh orang lain. Lihat saja banyak kandidat calon kepala daerah yang saat kampanye Pemilukada menggunakan atribut khas Jokowi dengan bajuk kotak-kotak merah, putih dan hitam namun tidak berhasil meraih suara. Artinya secara rasional, masyarakat kita sudah menempatkan isu blusukan hanya menjadi cirri khas bagi Jokowi, bukan untuk yang lainnya. Kita amat berharap apabila saat Pilpres 2014 nanti, masyarakat akan memilih calonnya didasarkan pada pendekatan yang memang rasional, dan tidak semata pada fenomena sesaat semata….###