Pasca Pemilu Legislatif 9 April kemarin, penulis menemukan pemandangan yang sudah tidak mengherankan di mana masyarakat. Di Tempat Pemungutan Suara (TPS) penulis mencoblos masih banyak masyarakat yang berdiskusi bagaimana cara mencoblos yang benar serta kebingungan dengan calon anggota legislatif yang akan mereka pilih. Meski beberapa diantara mereka ada pula yang sudah paham bagaimana cara mencoblos, sudah menentukan preferensi partainya dan bahkan sudah mengenali calegnya. Kemudian salah satu dari mereka memberikan instruksi kepada beberapa orang bagaimana cara mencoblos, apakah lambang partainya, nomer urutnya atau nama dari calon anggota legislatif tersebut. Setiap kali warga datang, pertanyaan yang sama selalu muncul, yaitu bagaimana cara mencoblos, apakah bisa mencoblos partai saja atau calon anggota legislatifnya, atau keduanya dicoblos yaitu lambang partai dan nama calegnya. Bahkan masih ada warga yang belum menentukan pilihan partai dan caleg mana yang akan dicoblos karena sama sekali “buta” politik sehingga dalam diskusi antar warga tersebut, warga yang sama sekali belum menentukan pilihannya hanya melakukan sekedar formalitas menunaikan haknya untuk menjadi warga negara yang baik.
Secara historis, Pemilu 2014 ini adalah Pemilu keempat yang telah diselenggarakan secara demokratis semenjak dibukanya keran demokrasi 16 tahun silam. Beranjak dari fakta di atas, menunjukkan bahwa core business Pemilu yaitu pendidikan politik untuk rakyat belum berjalan maksimal. Pendidikan politik berkaitan dengan peningkatan kualitas demokrasi.
Partai politik dan Komisi Pemilihan Umum seharusnya memiliki tanggung jawab utama untuk memberikan pencerdasan dan pendidikan politik kepada masyarakat umum.Pendidikan politik bukan hanya sekedar mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, tetapi pendidikan politik yang kaya akan konsep,menyadarkan tentang pentingnya Pemilu, memberikan perhatian terhadap generasi muda supaya peduli dengan masa depan bangsa serta pemberdayaan kognitif yaitu penyadaran tentang pentingnya pendidikan politik, penyelesaian sengketa Pemilu yang baik dan lain sebagainya. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah kondisi di mana masyarakat bingung, kemudian dapat menimbulkan ketidakpedulian masyarakat terhadap politik, secara sederhana masyarakat melihat bahwa partai politik gagal menjalankan salah satu fungsinya yaitu sosialisasi politik dikarenakan vakumnya pendidikan politik yang seharusnya mereka bisa peroleh dari partai politik atau instansi terkait.
Desain secara default?
Entah disengaja atau tidak, pemerintah dan partai politik memang sengaja mengabaikan pentingnya pendidikan politik, agar masyarakat lebih mudah untuk dibohongi oleh tipu daya politisi kotor dan korup.Karena banyak partai politik maupun politisi yang tidak memiliki tujuan, ideologi, visi dan misi yang jelas. Orientasi kekuasaan bukan untuk kesejahteraan rakyat tetapi melainkan hanya untuk kepentingan individu dan golongannya sendiri.
Berdasarkan survei, politisi kotor masih mendominasi kursi legislatif karena hanya 97 dari 200.000 calon legislatif yang memiliki catatan bersih dan kompetensi yang memadai. Ini berarti bahwa hanya 5,7 persen dari 560 kursi DPR RI dapat diisi oleh calon anggota legislatif yang bersih jika mereka semua terpilih.
Kecenderungan politisi kotor untuk memanipulasi kesadaran masyarakat dengan memberikan harapan dan janji surga yang pada akhirnya tidak terwujud hanya akan mengakibatkan political fatigue dan apatisme masyarakat. Supaya tidak terbuai dengan janji surga tersebut, pendidikan politik merupakan sebuah keharusan dan mutlak untuk segera dilaksanakan. Karena jika tidak, masyarakat akan rapuh, menjadi pesakitan. Political Money yang masih saja dilakukan oleh politisi kita saat ini karena masyarakatnya “sakit”.Mereka memahami bahwa suara mereka adalah sesuatu yang “berharga”, oleh sebab itu tradisi “bisa diatur, wani piro?” mereka jalani meskipun efek dan dampaknya akan berakibat fatal. Masyarakat akan terbiasa dengan politik transaksional pragmatis, sehingga setengah dosa mereka juga yaitu menelurkan pemimpin politik dan pemerintah yang otomatis pragmatis juga. Ketika pemimpin politik ini pragmatis, maka setiap kebijakannya tidak akan berpihak kepada masyarakat
Politik transaksional ini merupakan akibat dari lemah dan buruknya pendidikan politik di Indonesia. Masyarakat berpendapat bahwa dengan menerima beberapa lembar uang, 2 liter minyak goreng, 5 liter beras, 1 kaos berlambang partai merupakan “bukti” nyata yang diberikan caleg kepada mereka. Pemberian yang mereka terima hanya akan bertahan maksimal selama 3 hari, sedangkan nasib mereka akan diserahkan kepada caleg yang tidak ideal tersebut selama 5 tahun ke depan.Praktek-praktek tersebut malah mengeksploitasi dan memanipulasi mereka.Masyarakat diberi kesejahteraan yang semu.
Mahalnya biaya politik tersebut yang kemudian akan membuat politisi pesakitan. Modal yang dikeluarkan saat kampanye harus kembali saat dia menjabat, dan seketika itu juga politisi tersebut masuk ke lingkaran setan.Sangat sulit ketika sudah masuk dalam lingkaran setan.Seperti tersandera karena tidak ada lagi pilihan kecuali korupsi.
Tidak bisa mendadak
Anggaran politik yang begitu besar biasanya akan terfokus kepada pembiayaan kampanye politik, marketing, dan tim sukses. Namun anggaran untuk pendidikan politik agak terlupakan.Pendidikan politik tidak bisa dilakukan secara mendadak.Perlu dilakukan langkah yang gradual serta sistematis. Investasi pendidikan politik kepada masyarakat, kader atau simpatisan pada khususnya, setidaknya akan membuat kepercayaan diri, strategi, dan nalar politik menjadi lebih cerdas sebelum turun langsung ke akar rumput untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Ketika para kader ini sudah cerdas politik, mereka akan lebih mudah untuk melakukan sosialiasi tentang Pemilu, ideologi partai, visi dan misinya, bagaimana mengumpulkan dan membawa aspirasi rakyat untuk diperjuangkan ketika terpilih nanti dan lain sebagainya. Ini artinya, pelan-pelan pragmatisme politik dengan melakukan money politic akan terkikis. Masyarakat lambat laun juga akan mulai paham, dan menjadi pemilih yang cerdasdalam menentukan masa depan bangsanya ke depan. Semakin menguatnya kesadaran politik masyarakat, maka pragmatisme politik, potensi konflik, intimidasi, money politic, dan manipulasi dapat ditekan serendah-rendahnya.
Dari pendidikan politik yang dilakukan, diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat yang pada awalnya Pemilu hanyalah sebagai formalitas dan bahkan tidak penting, menjadikan Pemilu menjadi kedaulatan yang mutlak harus dilaksanakan, dan melihatnya sebagai suatu momentum di mana rakyat harus mengawal proses perubahan tersebut.
Untuk itu, penulis harapkan di Pemilu 2019 yang akan datang, baik itu partai politik maupun lembaga/instansi yang terkait mempunyai political will untuk melaksanakan pendidikan politik ke kader dan masyarakat, kemudian menjadi suatu kewajiban bagi mereka untuk membina, mendidik, membentuk, menyadarkan secara kognitif. Semoga saja dalam Pemilu yang akan datang, kualitas demokrasi kita akan meningkat, masyarakat sudah paham, tidak saja sadar menggunakan hak pilihnya tetapi juga menjadi kritis, memiliki pemahaman yang utuh akan makna dan fungsi keberadaan partai politik, sadar secara sukarela dalam mendukung caleg atau partai politik yang didukungnya, bergerak bukan berdasarkan materi, mencermati pilihannya dengan baik, meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, makin terbukanya ruang-ruang rasional dalam tiap diri masyarakat, dan seiring dengan itu menghasilkan pemimpin politik dan pemerintahan yang kuat, bersih, transparan, dan akuntabel, demi menuju bangsa Indonesia yang adil secara sosial, disegani dalam percaturan internasional serta menjadi bangsa yang bermartabat.###
M. Gamal Nasser
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNAS