Menjelang pemilu legislatif 2014, muncul fenomena pindah partai oleh sejumlah politisi di beberapa partai politik. Fenomena ini sering disebut masyarakat sebagai “kutu loncat”. Perilaku kutu loncat sendiri sudah sering terjadi dalam dunia perpolitikan. Salah satu politisi yang banyak dapat sorotan adalah “meloncatnya” Harry Tanoe dari Partai NasDem ke Partai Hanura karena adanya konflik dengan Surya Paloh sang “pemilik” partai. Belum lama sejak keluar dari Partai NasDem, Harry sudah menentukan pilihan partai baru, kepindahannya memberikan gambaran kepada kita seolah tidak ada perbedaan yang signifikan antara berada di Partai Nasdem dengan di partai lain. Ibarat perceraian dalam pernikahan, setelah melakukan perceraian maka dengan mudah menambatkan hati di “pelabuhan” lain.
Politisi lain, misalnya Akbar Faisal yang merupakan politisi vocal dari Hanura juga pindah partai ke Partai NasDem dan langsung menjabat sebagai Kepala Bidang Politik Pemerintah Nasdem. Kemudian ada dua politisi senior partai Golkar, Malkam Amin dan Mamat Rahayu Abdullah yang bergabung dengan Nasdem, dan yang paling aneh adalah Maiyasyak Johan melakukan pindah partai sebanyak dua kali dalam hitungan tidak lebih dari satu bulan, awalnya dia merupakan politisi PPP, kemudian pindah ke Nasdem dan terakhir berlabuh di Golkar. Jauh sebelum itu, ada juga politisi yang sering pindah partai, kita mengenal Jeffrie Geovanie awalnya merupakan politisi PAN, kemudian menjadi anggota legilatif dari Golkar dan pindah ke Partai Nasdem dan kemudian meninggalkan partai tersebut karena tidak masuk di jajaran kepengurusan yang baru.
Fenomena “kutu loncat” menjadi massif menjelang pemilu 2014, tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di daerah, fenomena ini selalu terjadi disetiap menjelang pemilu. Salah satu penyebab dari munculnya fenomena “kutu loncat” adalah landasan ideologi partai-partai yang lemah, sehingga partai-partai ada sulit untuk dibedakan dari sudut pandang ideologi.
Ideologi Partai
Firmanzah (2008), ideologi merupakan hal yang sangat penting untuk dibangun partai politik demi untuk menunjukkan arah dari perjuangan partai. Idielogi partai merupakan simbol perjuangan partai, alat pemersatu bagi partai dan juga merupakan pembeda antara satu partai dengan partai lain yang tidak hanya dalam konteks simbolik bendera, warna tetapi sebagai landasan dalam menyuarakan aspirasi politik masyarakat. Apabila kita melihat sejarah kepartaian hasil pemilu 1950an, maka kita akan dapat menyaksikan akan kentalnya ideologi parpol saat itu, partai-partai yang muncul tidak hanya sekedar berbeda ideologi seperti yang tercantum di AD/ART masing-masing partai tetapi nuansa perbedaan ideologi tersebut terlihat di dalam perdebatan-perdebatan di parlemen dalam merumuskan undang-undang yang akan menjadi landasan kebijakan Negara. Setiap partai mengajukan ide dan berdebat berdasarkan ideologi yang dianut oleh partai. Politisi partai antara yang satu dan yang lain sangat mudah dibedakan dari ideologinya saat itu, karena begitu melekat pada perjuangan politisi partai. PNI merupakan partai nasionalis yang dalam perjuangannya memperjuangkan garis nasionalis, begitu juga dengan Masyumi yang membawa ide-ide islam dan PKI yang memperjuangkan gagasan dan ide-ide komunis kedalam program yang nyata. Perdebatan parpol ketika merumuskan kebijakan sangat ideologis, tetapi bukan berarti parpol larut dalam perdebatan untuk hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Salah satu perjuangan PKI adalah Undang-Undang Pokok Agraria yang sangat berpihak kepada masyarakat terkait dengan kepemilikan lahan pertanian. Partai pada saat itu tidak akan mudah berkompromi dengan partai lain hanya atas dasar bargaining politik, seperti yang sering terjadi pada saat ini, dimana banyak keputusan politik yang menyangkut hak hidup masyarakat banyak dikompromikan oleh partai-partai politik. Hal ini terjadi karena lunturnya ideologi yang mengikat partai politik yang sehingga kelihatan antara satu partai dengan partai lain tidak memiliki garis ideologi dan perjuangan yang berbeda kecuali kepentingan partai masing-masing.
Dalam hal fenomena “kutu loncat” yang sering terjadi saat ini tidak akan muncul apabila partai-partai politik yang ada memiliki ideologi yang kuat. Seseorang menjadi anggota parpol tertentu pastilah karena adalah alasan ideologi yang dianut oleh parpol tersebut. Kecintaanya muncul karena platform, ide-ide, garis perjuangan yang ada dalam partai membuat seseorang akan rela berbuat banyak demi untuk mengembangkan partai, rela untuk menjadi anggota partai tanpa harus menjadi pengurus “teras”, mau berkorban untuk partai tanpa harus dinominasikan pada pemilu legislatif dan pemilukada. Rela bekerja keras dan memiliki kesabaran yang tinggi, sehingga pada suatu saat akan menjadi kader yang tangguh dan “tertempa” secara ideologis. Munculnya perebutan kekuasaan, perpecahan, friksi dalam internal partai kelak tidak membuat kader/politisi “loncat” begitu saja. Konflik pada organisasi yang memilki ikatan ideologi yang kuat akan lebih mudah diminimalisir, dan konflik yang muncul dapat dikelola secara internal. Sehingga kader/politisi tidak mudah “melirik” partai lain, karena ideologi partai yang tertanam pada kader tidak akan bisa “larut” dengan ideologi partai lain.
Pragmatisme Parpol
Munculnya pragmatism partai menunjukkan ideologi yang dimiliki partai tidak terlalu penting untuk saat ini, sehingga kita sulit untuk membedakan antara satu parpol dengan parpol lain, kecuali hanya namanya saja. Proses rekrutmen, pengkaderan yang minim membuat kesempatan bagi kader/politisi “kutu loncat” menjadi subur. Mereka bisa masuk Partai A saat ini dan besok sudah berada di partai B. Politisi opportunis ini masuk partai politik hanya untuk untuk memuaskan kepentingan politik pribadi, sehingga apabila di Partai ada kepentingannya sudah tidak bisa diperjuangkan, maka dengan mudah melirik Partai B yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan kepentingan politiknya. Fenomena ini diperburuk dengan sikap partai-partai yang memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk masuk kepada parpol dengan pertimbangan bahwa dengan keberadaan politisi tersebut bisa saja mendongkrak suara partai karena dana dan kepopulerannya dan juga bisa diandalkan untuk menjalankan mesin partai karena dianggap berpengalaman di partai lain. Padahal sikap keterbukaan partai ini merupakan sesuatu yang berbahaya mengingat perjuangan politisi seperti ini demi untuk kepentingan pribadi dan kelak akan mengabaikan prinsip-prinsip etika dan norma dalam berpolitik. Hal inilah yang memunculkan politisi korup dan tanpa peduli akan nasib masyarakat. Parpol yang memiliki ideologi yang kuat dan jelas dapat mencegah munculnya politisi “kutu loncat” dan tidak mudah memberikan kesempatan kepada politisi lain untuk masuk parpol tertentu, tanpa screening yang ketat demi untuk menjaga kemurnian ideologi partai. ###